• Polemik Hibah F-16



    Kesepahaman antara DPR dan pemerintah dalam pengadaan F-16 masih terus mencari titik temu dari segi teknologi dan pembiayaan. Komisi I DPR, sebagai mitra pemerintah dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional, memberikan beberapa persyaratan dan skema pembiayaan. Seperti apa? Berikut saya paparkan polemik sekitar ini.
    DPR dan pemerintah telah sepakat bahwa pengadaan F-16 penting bagi TNI untuk meningkatkan performa dan kewibawaan TNI di lingkungan regional. Tertuang dalam rencana pembelian di tahun 2011, telah disepakati alokasi dana untuk pembelian 6 unit F16 baru untuk block 52+, senilai lebih kurang us$ 430juta. Alokasi pembelian armament (senjata) dipersiapkan secara terpisah.
    Dalam perkembangannya timbul opsi lain. Hasil komunikasi antara TNI AU dan pemerintah Amerika, secara Goverment to Goverment, pemerintah Amerika menawarkan program hibah F-16 kepada pihak Indonesia. Program hibah ini disampaikan juga oleh Presiden Barrack Obama dalam kunjungan  singkatnya ke Indonesia pada 9 November 2010 yang lalu. Hibah F-16 ini telah mendapat persetujuan dari Kongres Amerika, dengan komposisi sbb : maksimal 28 unit F-16 block 25, 2 unit F-16 block 15, dan 28 engine utk F-16 block 25, dengan kondisi “as is where is” (seperti itu, di lokasi itu) alias apa adanya untuk pesawat F-16 yang diparkir di Arizona.
    Di Arizona, terdapat sebuah padang luas, tempat dimana Amerika memarkir pesawat-pesawat tempur, baik yang masih digunakan maupun yang tidak digunakan lagi oleh militer Amerika. Padang Arizona memiliki kelembaban yang  rendah, sehingga pesawat yang diparkir di sana tidak mengalami korosi/kerusakan akibat humiditas. Kongres Amerika telah memberikan izin 28 unit F-16 untuk Indonesia, sementara Indonesia hanya butuh 24, jadi sudah terdapat titik terang. F-16 yang dimaksud kondisi nya terpakai 4000jam sd 6000jam, sehingga harus dilakukan program Falcon Star agar dapat digunakan hingga 8000jam terbang. Menurut KSAU, rata-rata pesawat akan digunakan 10-20jam/bulan, sehingga pesawat bekas tersebut dapat digunakan selama 12 – 15 tahun.
    Karena “as is where is”, berarti delegasi Indonesia harus berangkat ke Arizona akan memilih 24 unit pesawat yang terbaik dari ratusan F-16 yang terdapat di sana.
    Dalam penjelasan yang disampaikan menteri pertahanan kepada komisi 1, lebih lanjut ditengarai bahwa pemerintah Amerika ternyata tidak memberikan hibah “begitu saja”. There no ain’t such thing as a free lunch, tidak ada makan siang yang gratis. Mereka menawarkan konsep hibah plus upgrade.
    Terjadi Dispute. Proposal yang disampaikan menteri pertahanan, diperlukan biaya sekitar us$ 450 juta – 600 juta untuk proses hibah (termasuk upgrade 24 pesawat) tersebut. Pada kesempatan yang berbeda, terjadi penjelasan Panglima TNI dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I, ada dua catatan terhadap proses hibah dan upgrade ini. Pertama, pesawat setelah diambil dari Arizona, kemudian akan diupgrade ke block 32. Hasil upgrade bisa selesai dan dikirim ke Indonesia, paling cepat pada tahun 2014 sebanyak 4 (empat) unit, setelah itu disusul dengan pengiriman lainnya. Kedua, biaya hibah dan upgrade 450 juta US dollar harus dibayar pemerintah Indonesia di awal, tunai.
    Atas persyaratan tersebut, maka terjadilah perdebatan panjang di ruang rapat Komisi I antara anggota Komisi I DPR RI dengan Pihak Kemenhan.
    Beberapa pemikiran yang dimunculkan oleh anggota Komisi I antara lain:
    Pertama; kalau waktu delivery nya lama, kenapa harus beli bekas. Kalau beli baru, kita butuh waktu sekitar 36 bulan (sekitar 3 tahun) untuk mendapatkan 6 unit saja dengan daya tahan atau pemakaian jauh lebih lama (up to 8000jam pemakaian). Resiko membeli bekas, dari segi teknologi sudah pasti ketinggalan, walau memang harus diakui dari segi jumlah pesawat lebih banyak dengan jumlah uang yang sama.
    Kedua; bila membeli bekas dan kemudian akan melakukan upgrade, maka Komisi I secara bulat mempunyai pemikiran, “bagaimana jika 24 unit pesawat F-16 tersebut diupgrade ke teknologi terbaru saja?”. Berdasarkan penjelasan Kemhan dan TNI AU, block 25 dan bloc 52 memiliki 2 perbedaan mendasar yaitu Perbedaan Sistem Avionik (block 32 menggunakan teknologi Commercial Fire Control Computer – CFCC, block 52 menggunakan teknologi Modular Mission Computer – MMC), Perbedaan Engine (engine block 52 berukuran lebih besar), dan Perbedaan Airframe (mengakomodasi mesin block 52 yang lebih besar, dan penambahan ruang angkut bahan bakar). Pilihannya adalah 24 F-16 block 25 tersebut diganti sistem avionik nya (termasuk mengganti cockpit) menjadi sistem avionic block 52 (sistem persenjataan menyesuaikan), sementara airframe dan engine tetap.
    Sisi Teknologi
    Konsep Hybrid (perkawinan), yaitu F-16 block 25, dengan kekuatan mesin tetap block 25, tapi avionik serta senjatanya di upgrade ke block 52. Keunggulan terdapat di avionic block 52, yang lebih canggih dari avionic block 25 dan block 32. Catatan : Proposal Kemhan mengusulkan agar upgrade avionic dilakukan menjadi block 32.
    Pertimbangan yang mengemuka : karena Indonesia negara kepulauan, maka tidak membutuhkan mesin dengan jangkauannya lebih jauh. Untuk menjangkau Malaysia, misalnya, bisa dari kepulauan Riau, atau Pontianak untuk menjangkau wilayah Malaysia yang dekat Kalimantan. Begitu juga, untuk menjangkau Timor Leste bisa dari Kupang.
    Dasar pemikiran dari Komisi I dengan konsep Hybryd itu terkait dengan “efek getar” (deterrent effect) dan daya tangkal. Singapura memiliki F-16 block 52 sejak tahun 1998 yang lalu.. Jadi kalau Indonesia di tahun 2014 memiliki 24 unit F-16 yang diupgrade “hanya” menjadi block 32, maka dinilai tidak mempunyai efek getar di kawasan.
    Komisi 1 mempersilahkan Kemhan untuk mempersiapkan beberapa opsi, dilengkapi perkiraan biaya dan waktu, untuk menjadi bahan pertimbangan yang diperlukan. Proposal Kemhan untuk meng upgrade menjadi block 32, dan butuh waktu 3 tahun, dengan ongkos us$450 juta, sementara dari segi efek getarnya juga tidak terasa, maka menurut Komisi I, adalah keputusan yang “nanggung”, perbuatan setengah-setengah. Adalah lebih baik sekalian saja beli pesawat tempur baru sebanyak 6 unit blok 52. Selain efek getarnya lebih terasa, umur pemakaian juga akan lebih lama, yaitu sekitar 30 tahun, dibanding pesawat bekas yang hanya berumur 12 tahun.
    Sisi Pembiayaan
    Polemik kedua berkaitan dengan sisi pembiayaan. Skema pembayaran FMS (Foreign Military Sale) yang ditawarkan oleh pemerintah, sangat menarik, yaitu G to G (negara dibayar oleh Negara). Namun muncul pemikiran : Hibah, kok Mbayar?
    Muncul pemikiran : (mungkin) pesawat bekas nya hibah, tetapi di “bundled” dengan membayar utk pelaksanaan program Falcon Star dan Upgrade.
    Skema pembayaran FMS, ada kelemahannya : Pemerintah Amerika minta dibayar tunai 70% dimuka. Artinya, pesawat dikirim 2014 tapi pemerintah harus bayar lebih dulu, sekarang juga. Uang sebesar itu (70% x us$450 juta) tertahan diam di kas pemerintah Amerika. Sungguh disayangkan, semestinya dana sebesar itu bisa kita manfaatkan untuk membeli keperluan TNI lainnya seperti pembangunan pesawat patroli, kapal patroli, tank tempur, dan lain-lain. Ada masukan agar melalui Pinjaman Dalam Negeri oleh Bank Pemerintah, sebagai contoh melalui Bank Mandiri cabang New York, Bank Mandiri atas nama Pemerintah membayar penuh ke pemerintah Amerika, sementara Kemhan membayar ke Bank Mandiri secara installment per tahun (dicicil).
    Komisi I sekarang ingin berbuat lebih baik dalam masa pengabdiannya. Jangan sampai hanya menjadi “tukang stempel” pemerintah. Tapi harus benar-benar menjadi mitra pemerintah dalam menghasilkan sesuatu yang terbaik untuk bangsa dan negara. Karenanya Komisi I membahas setiap persoalan, secara detil, teliti, dan berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara secara konsisten.
    Sisi Pengerjaan Upgrade
    Komisi 1 juga menyampaikan pemikiran : untuk memberdayakan kemampuan engineering Dalam Negeri, bagaimana bila proses Falcon Star dan Upgrade Block, dilakukan di wilayah Republik Indonesia? Sehingga terjadi proses pembelajaran dan transfer of technology yang bisa diserap oleh bangsa Indonesia. Kalau proses Falcon Star dan pelaksanaan Upgrade sepenuhnya dilakuka di Amerika, komisi 1 menganggap tidak ada nilai lebih yang signifikan buat industri pertahanan Dalam Negeri. Ini bagian dari komitmen Komisi 1 untuk mendukung pemberdayaan terhadap teknologi dan industri dalam negeri dalam menuju kemandirian alutsista. Pengerjaan upgrade-nya harus dilakukan di Indonesia dengan supervisi dari pihak produsen utama. Kami di Komisi I mengetahui bahwa anak-bangsa kita mempunyai potensi dan kemampuan untuk di bidang teknik perawatan dan upgrade alutsista.
    Memahami pemikiran Komisi 1, anak bangsa Indonesia akan mempunyai kesempatan untuk melakukan bongkar-pasang pesawat-pesawat F-16 tersebut. Meskipun mengerjakan barang bekas, ilmu dan pengetahuan yang diperoleh anak bangsa tersebut merupakan aset yang sangat berharga dalam perjalanan bangsa ke depan. Jelas itu jauh lebih berguna bila dibandingkan : belibarang bekas, diupgrade oleh produsen langsung, duit terbang ke negara lain, sementara bangsa sendiri tidak pernah diberi kesempatan untuk pintar.
    Jadi selain syarat teknologi dan pembiayaan, Komisi I juga memberikan penekanan pada aspek pengerjaan up-grade tersebut.
    Dalam dua kali pertemuan, yaitu Senin (19/09) dan Rabu (21/9) antara pihak Pemerintah dan DPR, kesepakatan belum dicapai. Pihak pemerintah masih akan mengkaji keinginan Komisi I, dan Komisi I juga belum bisa menyetujui kemauan pemerintah. Pihak pemerintah yang hadir dalam pertemuan antara lain Menhan, Wamenhan, Sekjenhan, Panglima TNI, Asrenum  (Asisten Perencanaan Umum) didamping oleh Kasau, Wakasau, dan jajaran Angkatan Udara.
    Semoga informasi deskriptif ini bermanfaat bagi masyarakat untuk memberikan masukan yang terbaik untuk bangsa dan negara yang kita cintai ini.**

    0 komentar → Polemik Hibah F-16

    Posting Komentar