Oleh: Connie Rahakundini Bakri.
Strategi dan keinginan atas pembangunan kekuatan militer di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk mendukung kemerdekaan. Langkah itu diambil dengan menyadari bahwa perjuangan tidak cukup hanya dilakukan melalui cara-cara diplomasi, tetapi dibutuhkan juga intervensi militer yang melibatkan kontak senjata dengan para penjajah dan pemertahanan kemerdekaan.
Indonesia pernah mengecap era saat anggaran pertahanan mencapai 29% dari GDP. Hasil yang dirasakan langsung adalah pada pembangunan kekuatan dan kapabilitas militer yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling advanced dalam kekuatan militer di kawasan. Selain itu mendorong terciptanya hubungan Washington dengan Jakarta yang penuh sikap respect di mana kemudian kita mendapatkan kembali Irian Jaya dengan hanya sebuah serangan one way ticket.
Pada era pemerintahan Orde Baru, pembangunan kekuatan negara diarahkan pada upayaupaya penciptaan stabilitas nasional sebagai syarat utama tercapainya pembangunan nasional. Pada dekade kepemimpinan ini, militer dituntut untuk masuk ke ranah politik pembangunan bangsa dengan lahirnya dwifungsi ABRI.
Di Orde Reformasi, pembangunan kekuatan kita berubah dengan adanya tuntutan untuk menciptakan militer yang profesional. Muncul keinginan untuk melahirkan militer yang bersifat outward looking. Kondisi ini akhirnya berdampak pada strategi nasional atas pembangunan kekuatan negara dengan kesalahan utama terletak pada tekad tersebut yang tidak diimbangi dengan perumusan strategi pertahanan nasional. Ada defisit pada penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI, termasuk visi dan misi dari transformasi militer yang dimiliki kalangan sipil sendiri mengenai pembentukan militer yang tangguh dan profesional.
Hal ini ditandai dengan banyaknya ketidaksepakatan mengenai konsep keamanan pertahanan negara dan inkonsistensi regulasi yang dilahirkannya. Misalnya persoalan pembangunan doktrin pertahanan melalui doktrin-doktrin strategis, tidak pernah terwujudnya Lembaga Pertahanan Keamanan Nasional (NSC), bersikerasnya Polri untuk tidak berada di bawah pengendalian sebuah departemen hingga persoalan anggaran pertahanan. Maka menjadi suatu momentum penting pada HUT kemerdekaan RI beberapa hari lalu, Presiden SBY untuk pertama kalinya mengumumkan bahwa Indonesia akan kembali memasuki sejarah penting militernya.
Pemerintah menetapkan anggaran pertahanan menempati urutan pertama belanja negara dengan anggaran yang mencapai jumlah Rp64,4 triliun pada 2012. Mengapa langkah itu menjadi penting? Menurut Cline dan Liddle, kekuatan militer dapat digunakan sebagai alat penekan (bargaining position) dalam memperjuangkan pembangunan perekonomian suatu negara.
Ekonomi dan militer pada dasarnya merupakan perhubungan dua variabel yang bersifat timbal-balik.Artinya, jika militer kuat, ekonominya juga akan kuat. Pertahanan Laut Indonesia berdasarkan tinjuan sejarah sebenarnya adalah negara yang berwatak maritim. Fakta bahwa visi maritim merupakan visi pertahanan politik, ekonomi, dan militer yang terbaik bagi negeri ini telah ditunjukkan secara nyata pada era Sriwijaya dan Majapahit. Namun watak kemaritiman tersebut menghilang bersama waktu. Dengan perkembangan abad ke-21 ini sudah selayaknya kita menengok konsepsi “1.000 Navy” dari Admiral Mullen. Konsepsi itu mendorong secara tidak langsung seluruh dunia untuk melirik kembali pembangunan kekuatan maritim bagi terciptanya regional equilibrium (ekuilibrium regional).
Indonesia dapat belajar banyak dari negeri kecil Israel dengan luasnya yang hanya sekitar 1% Indonesia memiliki peringkat ke-14, sementara Indonesia berada di urutan ke- 18 dunia versi Global Fire Power 2011. Salah satu kunci penting tercapainya urutan Israel di daftar tersebut dikarenakan di Israel sistem organisasi militer merupakan ruang eksklusif yang hanya dimiliki militer dan posisinya tetap di luar sistem sipil. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia.
Kekuasaan dan intervensi sipil terhadap masalah jabatan militer strategis,‘menguji’ dan ikut menetapkan Panglima TNI, menetapkan alokasi anggaran pertahanan hingga ke pembelian alutsista. Elite sipil sering kali menentukan dengan berpedoman teguh pada konsep ‘civilian supremacy over military’. Hal ini akhirnya berimbas pada pembangunan kekuatan dan kapabilitas TNI. Terbukti, hingga 12 tahun reformasi berjalan, sulit bagi kita mencari solusi atas persoalan pembangunan kekuatan pertahanan. Padahal Indonesia harus menghadapi tantangan dan bentuk “perang baru”yang bertumpu pada kekuatan maritim baik di tataran kawasan maupun global.
Kekuatan angkatan laut (AL) secara prinsip berbasis pada alutsista bukan kekuatan personel seperti angkatan darat (AD). Perumusan postur TNI AL ideal harus diawali dengan penghitungan alutsista yang diperlukan dengan beberapa pertimbangan strategis sesuai dengan karakteristik geografis dan ultrastrategis berbagai alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang dimilikinya. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata biaya operasional alutsista TNI AL yang berbasis kekuatan senjata yang diawaki (berbeda dengan TNI AD) untuk memenuhi hitungan keseimbangan maritim kawasan membutuhkan anggaran tambahan sebesar 70% per unit. Jika dihitung jumlah anggaran sebesar ini, termasuk biaya pengadaan alutsista baru yang harus disediakan, maka total anggaran rata-rata seyogianya mencapai sekitar USD11,78 miliar per tahun.
Pembangunan kejayaan Indonesia dan pencapaian mimpi bangsa-bangsa dunia untuk terwujudnya ekuilibrium regional yang nyata bagi seluruh umat manusia harus menjadi visi dalam mengembangkan sistem pertahanan. Kerangka itu juga digunakan untuk kembali mengangkat Indonesia sebagai negara yang disegani dan berwibawa berlandaskan pada visi maritim dengan fokus pembangunan TNI berdasarkan kekuatan AL. Langkah itu akan mengubah secara fundamental sistem pertahanan dan politik negara yang sudah ada.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah mau dan siapkah kita semua dan para elite politik untuk sungguh-sungguh berkonsentrasi melaksanakannya? Kita harus membenahi dan membangun kembali kekuatan ekonomi dan kesejahteraan bangsa dengan mengembalikan kejayaan dan kekuatan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, terhormat, dan berwawasan maritim. Dengan begitu kita mampu memanfaatkan dengan tepat dan benar centre of gravity pertahanan bangsa serta posisi ultrastrategis geopolitik kita.Karenanya tekad kita harus mampu membuat kita berkata, “Aut viam inveniam aut vaciam, I will eith.
sumber : SWATT ONLINE
0 komentar → TNI dan Pembangunan Ekuilibrium Regional.
Posting Komentar