Bandung - Setelah terpuruk dalam beberapa tahun terakhir, PT Dirgantara
Indonesia (Persero) kini mulai bangkit. Order pembuatan pesawat,
komponen dan jasa datang dari berbagai negara. PTDI mulai merevitalisasi
struktur dan SDM untuk mengimbangi meningkatnya pesanan dan kontrak
pembuatan pesawat. Bagaimana itu dilakukan? Berikut wawancara wartawan
FAJAR, Hasbi Zainuddin, dengan Direktur Umum & SDM PT Dirgantara
Indonesia (Persero), Sukatwikanto, di ruang redaksi Harian FAJAR, 12
September lalu.
PTDI lebih cenderung memproduksi pesawat untuk militer. Bagaimana
perkembangannya?
Klaster pesawat yang dibuat PTDI itu memang lebih kepada military,
karena memang sejak awal didirikan, PTDI itu memang memproduksi pesawat
militer. Orientasinya sebagai transportasi sipil dan membantu
pertahanan. Meskipun kita belum memproduksi pesawat tempur.
Pembiayaannya bagaimana?
Jika dihitung, total nilai kontrak itu mencapai Rp8 triliun, hingga
tahun 2016. Untuk modal dan pembiayaan pesawat ini, kita ambil dari APBN
melalui bank pemerintah.
Pembeli itu datang dari mana saja?
Untuk pesawat-pesawat military ini, pembeli kita tahun ini semakin
meningkat. Kita bahkan sudah punya kontrak pembuatan pesawat dengan
beberapa pembeli dalam negeri dan negara luar. Baik itu berupa unit
pesawat, maupun komponen dan jasa.
Selain dari dalam negeri, pemesan kita yang sudah deal itu datang dari
beberapa negara, di antaranya Korea Selatan, UAE (Uni Emirat Arab),
Pakistan, Jepang, Malaysia, Brunei, Thailand, Perancis, Jerman, Inggris,
Spanyol, Irlandia. Turki, Burkinafaso, dan Senegal. Negara-negara ini
membangun kontrak pembelian pesawat, komponen, dan jasa.
Selain beberapa negara itu, kami juga sementara mengikuti proses tender
penjualan pesawat di Filipina. Pesawat tersebut antara lain tiga unit
jenis CN 295, 4 unit CN235 untuk seri maritim transport, dan satu unit
NC212 untuk seri 200 untuk maritim patroli.
Tendernya sementara berlangsung di Finance State. Kita berharap tahun
ini ada beritanya menang. Nah, di Thailand, kita sudah memenangkan
tender satu unit NC 212-200. Penjualan di Thailand dan Filipina ini
menambah nilai kontrak Rp8 triliun itu.
Pesawat yang dipesan jenis apa saja?
Macam-macam. Salah satu pemesan kita, Korea, itu menggunakan salah satu
jenis pesawat CN235 sebagai pesawat kepresidenan. Sementara Malaysia,
menggunakannya sebagai pesawat VIP, setingkat di bawah presiden.
Untuk pesawat, kita mengandalkan N295. Pesawat ini ordernya sudah
sembilan unit sampai tahun 2014, oleh TNI Angkatan Udara.
Tahun ini sudah ada dua yang jadi dan kita delivery.
CN295 ini adalah pesawat hasil pengembangan CN235 yang dilakukan Airbush
Military. Bedanya, badan pesawat ini lebih panjang tiga meter, sehingga
mampu membawa penumpang sampai 50 orang, dengan menggunakan mesin
Turboprop Pratt & Whitney yang lebih besar. Pesawat ini juga mampu
mengangkut satu unit mobil tank.
PT Dirgantara bekerjasama dengan berbagai pihak dalam hal produksi
beberapa pesawat. Apa kerjasama yang paling strategis?
Jadi, pertama yang harus dipahami tentang konsep industri pesawat, tidak
ada industri yang memproduksi sendiri pesawat secara utuh. Untuk PTDI,
ada tiga jenis produksi kita. Pertama, pesawat yang kita diciptakan
sendiri, dan hak kita untuk memproduksi dan menjualnya. Produk itu
misalnya, pesawat CN235 yang pembuatannya kita kerjasama dengan CASA.
Pesawat jenis ini adalah buatan Indonesia. Ada juga produk yang
underlisence. Kita buat, tapi bukan kita pemiliknya. Itu seperti pesawat
NC212-200 dan 400. Kita hanya berhak memodifikasi, mengubah sedikit
hidungnya, dan sayap.
Ketiga, industrial cooperation. Artinya, kita hanya membuat komponennya.
Nah, untuk ini, PTDI merupakan satu-satunya pembuat komponen untuk bahu
pesawat Airbush A380. Untuk komponen itu, kita mendapat order sampai 10
tahun ke depan.
Nah, untuk pemasaran, kami saat ini juga bekerjasama dengan Airbush
Military, yang dulunya bernama CASA, dengan ikut membantu mengelola
pasar pesawat jenis NC 212-400, CN 235, dan CN 295, di Asia dan Pasifik.
Selain itu? PTDI juga terlibat dalam pengembangan pesawat tempur multi
roles IFX-KFX, kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Korea Selatan. Pesawat ini merupakan pesawat tempur generasi 41/2,
setara dengan F16++. Dari kerja sama ini, kita target mulai beroperasi
tahun 2020 mendatang.
Komposisi saham Indonesia-Korea dalam kerja sama ini sebesar 20-80
persen. Selain PTDI, beberapa pihak yang terlibat dalam pengembangannya
antara lain Kementerian Pertahanan (Kemhan) sebagai koordinator,
Kementerian Ristek (Riset dan Teknologi), BPPT (Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi), ITB, dan Balitbang Kemhan.
Nah, dengan kerjasama ini, kita tentu memiliki hak untuk memodifikasi,
mendesain, dan membangun dua skuadron di Bandung. Meskipun, kalau ada
pembeli dari luar negeri, kita dan Korea tentu harus duduk bersama,
karena modalnya berdua. Selain itu, tentunya masih banyak lagi kerjasama
dan kontrak yang kita lakukan, yang mencukupkan nilai kontrak itu
sebesar Rp8 triliun.
PTDI saat ini menunjukkan prestasi yang baik, dan mampu bangkit dari
keterpurukan sejak krisis 1998 silam. Apa faktor yang mendukung prestasi
besar ini?
Tentu dari sisi kebijakan pemerintahan. Dulu, kita kesulitan karena
barang yang dipesan itu bisa kita delivery dalam waktu paling cepat 36
bulan. Kenapa, karena kita dilarang stok. Jumlah barang yang ingin
dibuat, harus berdasarkan order, dan pembiayaannya melalui APBN yang
diputuskan setiap tahun. Sementara, pemesan maunya 12 sampai 18 bulan
sejak ditandatangani kontrak.
Sekarang, pemerintah sudah membolehkan stok, sehingga, pesawat itu bisa
kita kirim lebih cepat, bisa sekitar 12 sampai 18 bulan. Pemerintah juga
memberi kebijakan, khusus produksi pesawat, pembiayaannya melalui APBN
multiyear, bisa sampai tiga tahun sekaligus. Pemerintah juga sudah lebih
terbuka memberlakukan kredit impor.
Target keuntungan dari order itu?
Kita sampai sekarang sebenarnya masih menggendong utang. Kita tahun
kemarin telah menyelesaikan utang masa lalu terhadap pemerintah yang
manfaatnya sebagian sudah kita nikmati. Nah, sekarang masih punya utang
riil. Berupa utang bisnis, yang sehari-hari kita gunakan membeli
berbagai perangkat industri. Kita perkirakan tahun 2014, dengan order
tersebut, utang riil itu bisa kita selesaikan.
Apa harapan Anda?
Untuk itu, yang kami butuhkan adalah tenaga SDM. Kita sedang mencari
sarjana teknik yang punya idealisme dan integrasi yang tinggi, yang
sanggup bekerja keras, meskipun gaji minim. Kita siap untuk melatih.
Perekrutan SDM ini kita lakukan, karena dari sekitar 2.300 tenaga di
PTDN, sekitar 70 persen di antaranya akan pensiun sampai tahun 2016
mendatang.