Islam Times - Jalal, ayah Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Pati Jalal, intinya membisikkan penolakan Soebijanto pada rencana penempatan delapan radar Amerika di pesisir Sulawesi.
(foto tempo.co) |
Per 28 Mei 2012 nanti, rencananya tiga kapal perang Amerika Serikat, US Coast Guard Cutter Waesche, US Navy USS Vandegrift FFG-48, dan USS GPN LSD 42 akan lego jangkar di Surabaya, Jawa Timur. Dan rencananya, tiga kapal yang mengangkut 831 personel tersebut akan berlabuh hingga 7 Juni 2012.
Tapi urusan apa sebenarnya tiga kapal perang jenis destroyer Amerika merapat di Pelabuhan Tanjung Perak?
Berita-berita nasional bilang, mereka akan melakukan serangkaian kegiatan diantaranya adalah latihan perang dengan TNI Angkatan Laut yang akan digelar di Pantai Banongan, Kabupaten Situbondo dengan tajuk 'Cooperation of Afloat Readiness and Training' (CARAT, hingga membawa pesan hangat ‘persahabatan’ dan kemesraan seorang ‘mitra alami’ dan bakti sosial di Madura selama tiga hari pada 5-7 Juni 2012. Namun, keberadaan katinting-katinting raksasa di pelabuhan umum Tanjung Perak tersebut ditentang para pengusaha. Karena dianggap merugikan.
Namun, Gubernur Jatim Soekarwo pernah mengatakan bahwa bersandarnya kapal perang AS di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tidak menjadi soal. Dia bahkan meminta kepada para pengusaha yang menolak mau bernegosiasi. "Kalau bisa dirundingkan dulu, daripada berteriak-teriak menolak. Sebab, kalau bersikeras menolak itu tidak bisa, soalnya Tanjung Perak bukan hanya untuk kapal niaga, tetapi juga bisa untuk angkatan perang," katanya, lapor Vivanews, Minggu, 27 Mei 2012.
Tapi, jangankan para pengusaha, para jenderal pun “mungkin” tak akan bisa menolak keberadaan-keberadaan kapal-kapal AS ini. Sebab ceritanya semula berawal dari sini.
Pada 7 November 2007, dua tahun menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Slamet Soebijanto mendadak kehilangan jabatannya. Mabes TNI kala itu bilang pencopotan disebabkan Soebijanto ‘memasuki masa pensiun’. Aneh bin ajaib. Masa pensiun Soebijanto baru bakal dua tahun lagi. Usianya masih 56 tahun kala itu. Toh, penggantinya justru lebih tua. Laksamana Madya Sumardjono kelahiran 21 Juni 1951, alias 15 hari lebih tua dari Slamet yang kelahiran 4 Juni 1951.
Dan, ini yang belum pernah dilaporkan media nasional di hari-hari itu: Dua hari lepas Soebijanto kehilangan jabatannya, pada 9 November, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengawatkan sebuah telegram bermarka CONFIDENTIAL ke Washington. Isinya mengisyaratkan kalau Amerika patut berbesar hati dengan terpentalnya Soebijanto. Kata telegram: “Perubahan ini bisa membuka peluang perbaikan hubungan kerjasama Amerika dengan TNI AL. Berkebalikan dengan TNI AU dan TNI AD, Soebijanto bersikap dingin dalam membangun hubungan Amerika Serikat, tak begitu tertarik membeli piranti perang dari Amerika dan rese dalam beberapa aspek penting yang diusulkan Amerika dalam skema bantuan Section 1206 dari NDAA untuk tahun anggaran 2007 dan 2008, termasuk pemasangan radar di pesisir. Dia juga menyatakan cemas pada Amerika sebagai suplier senjata, berkeras bahwa Amerika ‘bukan mitra yang handal”, sebab aneka kesulitan TNI AL dalam mendapatkan sparepart dari Amerika. … Pendepakan Soebijanto bisa menciptakan peluang tak terduga guna mengembalikan rencana bantuan ini ke rencana semula dan juga maju di bidang lainnya.”
Gulungan kawat emas diplomatik Amerika Serikat yang bocor tanpa sensor di WikiLeaks (www.cablegatesearch.net) menunjukkan Soebijanto adalah batu karang terakhir yang mengganjal rencana besar Amerika mengukuhkan cengkraman pengaruh dan bisnis militer dengan TNI, lepas menjatuhkan sanksi embargo selama satu dekade lebih hingga 2005.
Sebuah telegram tertanda 14 Juni 2007, merekam pertemuan antara seorang utusan Menteri Luar Negeri Amerika dengan sejumlah pejabat keamanan negara di Jakarta, termasuk Soebijanto. Salah satu yang menjadi bahasan sang utusan kala itu adalah soal Status of Forces Agreement (SOFA), perjanjian penempatan pasukan Amerika di Indonesia. Telegram bilang Soebijanto cemas dengan ide itu, utamanya karena berpotensi merusak kedaulatan negara. (Kejelasan soal jadi tidaknya perjanjian ini belum pernah dipublikasikan hingga kini). Telegram juga bilang kalau Soebijanto mengungkap ketaknyamanan pada desakan Amerika agar Indonesia ikut meratifikasi Proliferation Security Initiative (PSI), traktak yang memungkinan Amerika mencegah kapal asing manapun yang mereka anggap berbahaya di wilayah laut Indonesia.
“Laksamana Soebijanto bilang Indonesia tak ingin negara asing mencegat kapal-kapal di perairan Indonesia,” kata telegram. “Kendati, dia tak keberatan dengan gagasan pertukaran informasi dan bilang kalau TNI AL siap menangkap penyelundup jika Amerika bersedia membagi informasi.”
Empat bulan kemudian, persoalan baru mencuat antara Amerika dan Soebijanto. Dalam sebuah telegram tertanggal 12 Oktober, Amerika menyebutkan kalau diplomat mereka mendapat bocoran dari Hashim Jalal, bekas diplomat, ahli hukum laut yang sekaligus penasihat Soebijanto. Jalal, ayah Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Pati Jalal, intinya membisikkan penolakan Soebijanto pada rencana penempatan delapan radar Amerika di pesisir Sulawesi. Ada empat alasan utamanya, katanya: (1) daya jangkau radar darat itu terbilang pendek, hanya 25 nautical miles; (2) total radar yang akan dihibahkan hanya delapan unit dan ini tak kuasa memonitor 400 mil laut pesisir pantau Sulawesi; (3) kemungkinan Amerika menggunakan radar itu untuk memata-matai Indonesia; (4) Amerika bukan mitra yang handal mengingat adanya pembatasan Kongres AS atas bantuan militer ke Indonesia. Soal yang terakhir, Soebijanto pernah mengungkap langsung alasan detilnya ke seorang atase militer Amerika di Jakarta. Dia bilang, akibat embargo Amerika, TNI AL kesulitan mencari sparepart kapal selam yang dibeli dari Jerman serta kapal kelas Corvette dari Belanda. Kedua kapal itu menggunakan sistem navigasi Amerika Serikat.
Dalam telegram yang sama, Kedutaan Amerika mengambarkan TNI AL sebagai cabang kemiliteran di Indonesia yang paling sulit dijamah dan diajak berkoordinasi karena besarnya kecurigaan pada pihak Barat, utamanya Amerika Serikat, ketimbang sikap kebanyakan perwira Angkatan Udara. Masih di telegram yang sama, Kedutaan Amerika meminta U.S. Chief of Naval Operations, Laksamana Roughead, untuk ‘membriefing’ Soebijanto di sela-sela International Sea Power Symposium pada 15-19 Oktober di Newport, Rhode Island.
Pada 25 Oktober, setelah Soebijanto kembali dari Amerika, sebuah telegram kembali terkirim. Kali ini, isinya menyebutkan adanya ‘ganjalan’ di kalangan perwira militer TNI atas rencana transaksi besar alat-alat Amerika, termasuk penjualan pesawat jet F-16 ke TNI AU. Nama Soebijanto, juga Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono serta sejumlah anggota dewan, disebutkan sebagai hambatan dalam sukesnya transaksi. Telegram menggambarkan mereka masih mengidap skeptisisme pada kehandalan Amerika serta menyimpan keresahan yang mendalam atas sanksi embargo di era sebelumnya. Di bagian lain, telegram menyebutkan hambatan utama pemasangan radar di Selat Makassar adalah “kecurigaan pribadi Soebijanto atau versi lembaga dari kecurigaan pada rencana itu”.
Pada 21 April 2009, dua tahun lepas Slamet terpental dari Angkatan Laut, Kedutaan Amerika di Jakarta mengirim telegram suka cita yang lain. “Dalam dua tahun terakhir, kepemimpinan TNI AL jauh lebih terbuka. Mereka lebih mau mendengar dan mendiskusikan persoalan-persoalan kompleks. Perubahan kunci terjadi pada November 2007 dengan terpentalnya Laksamana Slamet Soebijanto yang pemberang dan nasionalistik dari jabatan Kepala Staf TNI Angkatan Laut. Laksamana Madya Sumardjono, yang menggantikannya hanya untuk setengah tahun berikutnya, memberi lampu hijau untuk pemasangan jejaringan radar dalam skema bantuan Section 1206 … Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno, yang menggantikannya pada Juli 2008, telah mengizinkan program itu berlanjut dan mengalokasikan anggaran dan personen untuk menjaga dan mengopreasikan stasioun radar begitu terpasang.” [Islam Times/on]
Artikel diatas tidak perlu ditanggapin terlalu serius dan berlebihan, karena Kemhan beberapa waktu lalu pernah mengumumkan bahwa radar bantuan hibah dari AS bukan sebagai alat untuk mematai Indonesia, namun kedepan Indonesia harus selalu waspada dengan bantuan dari luar karena ada pepatah "There ain't no such thing as a free lunch". Bila terbukti dikemudian hari alat itu berfungsi ganda, ya tentunya TNI tinggal mematikan saja dan bila perlu membongkar radar tersebut untuk dipelajari buat pengembangan teknologi radar kita kedepan, yang tentunya tidak mudah juga ... untuk saat ini budget alutsista Indonesia yang masih minim, makanya bantuan dari luar itu sah saja sampai dana tersedia.
Dan bila intervensi asing benar adanya, harusnya Indonesia bisa bermain cantik karena banyak negara yang ingin dekat berhubungan dengan Indonesia, ibarat seperti gadis cantik yang ingin dipinang beberapa lelaki, selama gadis ini pandai maka banyak keuntungan yang banyak didapatnya.
Dan bila intervensi asing benar adanya, harusnya Indonesia bisa bermain cantik karena banyak negara yang ingin dekat berhubungan dengan Indonesia, ibarat seperti gadis cantik yang ingin dipinang beberapa lelaki, selama gadis ini pandai maka banyak keuntungan yang banyak didapatnya.
Sumber : Garuda Militer
0 komentar → Jenderal, Laut Kita Bukan Jumbleng Kapal Asing!
Posting Komentar